Senin, Juni 21, 2010

Kraton Yogyakarta

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia, yang merupakan jantung kebudayaan khususnya bagi Kebudayaan Jawa. Keraton sendiri secara morfologis berasal dari kata Ratu, yang merupakan tempat bersemayamnya ratu-ratu.

Sejarah keraton tidak bisa dipisahkan dari sejumlah mitos yang melingkupinya. Misalnya mitos dewi kesuburan yang mengisahkan tentang kakak adik Dwi Sri dan Raden Sadhana yang dikutuk ayahandanya Prabu Purwacarita karena tidak mau tinggal di keraton.

Dalam perjalanan sejarahnya, roda kebudayaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat digerakkan oleh orang-orang mulai dari strata yang paling tinggi, yaitu sultan, hingga yang paling rendah, yakni abdi dalem. Para sultan yang memimpin keraton (mulai dari Pangeran Mangkubumi hingga yang sedang berkuasa Sri Sultan Hamengku Buwono X) merupakan tokoh-tokoh utama yang memegang kendali roda kebudayaan keraton. Di level bawahnya ada para prajurit keraton yang dibagi dalam 12 kesatuan dengan tugas dan fungsi yang berbeda.

Koleksi benda-benda pusaka, antara lain kereta kencana, senjata-senjata pusaka, bendera-bendera, serta alat-alat musik hingga kini masih tersimpan di keraton. Senjata pusaka Kangjeng Kiai Pleret yang berupa tombak merupakan pusaka yang dinilai paling keramat dan paling tinggi martabatnya. Pusaka ini diyakini erat kaitannya dengan sejarah berdirinya kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati yang merupakan cikal bakal para raja Jawa di Surakarta dan Yogyakarta.

Selain itu masih ada lagi senjata pusaka Kangjeng Kiai Godotapan dan Kangjeng Kiai Godowedono (berupa penggada), Kangjeng Kiai Kopek (keris), dan Kangjeng Kiai Pengarabarab (sebilah pisau besar mirip pedang).

Alat-alat musik yang bisa dilihat di kraton adalah Kanjeng Kiai Tudhung Mungguh (simbal), Kangjeng Kiai Simo (simbal), Kangjeng Kiai Udanarum (simbal), Kangjeng Kiai Meyek (kendang), Kangjeng Kiai Guntursari (satu unit gamelan), Kangjeng Kiai Keboganggang (gamelan), dan Kangjeng Kiai Lindhu (gamelan).

Sebagai sebuah kerajaan yang pernah berjaya di masanya, di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat banyak lahir karya budaya, di antaranya kesenian berupa tari-tarian, wayang kulit, wayang orang, dan gamelan. Dua tarian yang masih sering dipertunjukkan di Keraton adalah tari Serimpi dan tari Bedoyo.

Keraton Yogyakarta yang luasnya 1,3 km2 , secara tipologi masih berkaitan dengan tata fisik keraton-keraton di Jawa. Arstitektur bangunannya dibagi menjadi 7 bagian sesuai dengan anggapan yang diwarisi dari agama Hindu, bahwa angka 7 merupakan angka yang sempurna. Juga sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa yaitu bahwa dunia terbagi dalam 3 lapisan, yaitu “dunia atas” tempat bersemayamnya para dewa, “dunia tengah” tempat manusia, dan “dunia bawah” yang mewakili kekuatan-kekuatan jahat di alam. Kemudian, dunia atas dan bawah terbagi dalam 3 bagian, sehingga lapisan dunia menjadi 7 lapis.

Dalam konteks bangunan keraton, 7 lapis dunia itu diwujudkan dalam 7 tata ruang lingkungan yang membentuk satu kesatuan. Lingkungan I adalah Alun-alun Utara sampai Siti Hinggil Utara, Lingkungan II (Keben atau Kemandungan Utara), Lingkungan III (Sri Manganti), Lingkungan IV (Pusat Kraton), Lingkungan V (Kemagangan), Lingkungan VI (Kemandungan Kidul), dan Lingkunagn VII (Alun-alun Selatan sampai Sitihinggil Selatan).

Posted in Knowledge, budaya, sejarah | Tags: angjeng Kiai Godotapan, angjeng Kiai Kopek, gada, gamelan, Hadiningrat, jawa, Kangjeng Kiai Godowedono, Kangjeng Kiai Keboganggang, Kangjeng Kiai Lindhu, Kangjeng Kiai Meyek, Kangjeng Kiai Pengarabarab, Kangjeng Kiai Simo, Kanjeng Kiai Pleret, keben, kemagangan, kemandulan kidul, kendang, keraton, keris, mataram, ngayogyakarta, Panembahan Senopati, Pangeran Mangkubumi, pedang, prabu, Purwacarita, pusaka, simbal, sri manganti, Sri Sultan Hamengku Buwono X, tari bedoyo, tari serimpi, wayang kulit, wayang orang, yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar